Mereka yang Tertindas di Rumah Sendiri

  • Bagikan

“Saya seperti gelandangan di kampung sendiri. Terusir dari tanah air,” kata Dion

***

Perkenalkan, namanya di facebook Dion Syaif Saen, tetapi nama aslinya adalah Baharuddian. Dia akrab dipanggil Dion. Ceritanya cukup panjang hingga akhirnya saya hanya bisa mengutip sepenggal demi sepenggal kata tentang kesedihannya tatkala diusir saat mengais rezeki.

Memang hal semacam ini bukan kali pertama dihadapi kaum proletar. Acap kali pengusiran, penggusuran dilakukan mereka yang punya kepentingan dan tentunya pemegang kekuasaan.

Saya ingin sedikit bercerita, beberapa waktu lalu, mahasiswa dan masyarakat datang dengan baik menghadap ke pemerintahan. Mereka meminta kebijakan tentang lapak jalannya yang digusur. Mereka pedagang kaki lima, penjual buah.

Berunjuk rasa depan gedung pemerintahan, berharap rasa tanggung jawab pemerintah akan kesejahteraan rakyat terbersit meski sedikit. Tapi apa daya, pemerintah, saya sebut saja Dinas Koperasi, UKM dan Perdagangan Kabupaten Bantaeng. Yah, cerita ini di Kabupaten Bantaeng, Kabupaten yang belum cukup setahun dipimpin Ilham Azikin sebagai Bupati.

Saya tidak menyalahkan Bupati, bukan karena berafiliasi, tetapi lebih kepada dia sedang pelajari ekosistem di Bantaeng. Wajar saja dia baru menjabat.

[the_ad id=”238″]

Kita kembali, mereka, para pedagang dan mahasiswa menuntut keadilan. “Siapa yang akan bertanggung jawab ketika buah busuk karena tidak ada yang datang membeli?,” kata pedagang.

Mereka menuntut, “Siapa yang bertanggung jawab atas penggusuran lalu pemindahan, kemudian ada pedagang lain yang dibiarkan berjualan di trotoar. Katanya trotoar bukan tempat jualan, makanya kami digusur, tapi kenapa ada yang jualan di sana? Bukankah itu bentuk diskriminasi?” kata mereka.

Mereka menuntut, “Kenapa mesti dipisahkan antara pedagang buah yang notabene jarang dikunjungi, dipisahkan dengan pedagang sayur dan ikan. Kami bisa jual buah karena para pembeli kebetulan singgah setelah beli sayur dan ikan. Siapa yang bertanggung jawab?” kata mereka lagi.

***

Saat itu, topeng pahlawan Dinas Koperasi, UKM dan Perdagangan ditampakkan. Mereka, pemerintah, menyebut itu demi kebaikan dan kelayakan para pedagang buah.

Alhasil apa yang mereka dapat? Kebuntuan. Mereka, para pedagang yang termakan buaian, iya-iya saja. Lantas apa solusinya? Kebuntuan.

Sejauh ini, pengamatanku, meski subjektif, mereka lebih dirugikan dari sebelumnya. Hanya segelintir masyarakat yang peduli saja, atau bahkan karena butuh buah, yang datang. Tetapi sejauh ini masyarakat Indonesia, lebih spesifik ke masyarakat Bantaeng, masih kurang yang rindu membeli buah. Bagaimana tidak, di pedalaman sana, banyak sanak keluarga yang punya ladang buah, ngapain beli.

Sekali lagi, mereka dirugikan. Para penjual ikan berjaya karena di dekatnya ada penjual sayur dan rempah-rempah, begitu juga sebaliknya. Tetapi pedagang buah, ujung-ujungnya buah busuk jadi pupuk kompos, beruntunglah cacing tanah.

Saya teringat lagu yang dipopulerkan the panas dalam, berjudul resiko. Dalam penggalan liriknya berbunyi “Salah sendiri, kenapa menjadi rakyat harus diatur harus dipimpin”.

Sama persis yang dikatakan seorang aktivis di Bantaeng. Saya tak ingin sebutkan namanya, takut kalau-kalau dia sedang punya kepentingan. Pokoknya dia berperawakan seperti Jhonny Deep (tonton pirates of the carabian), jika bicara dia lantang, kerap pakai kemeja dan kalung berbahan besi putih melingkar di lehernya. Dia sempat bilang ketika aksi saat itu, “Siapa suruh jadi rakyat, mati pun karena kelaparan pemerintah tidak peduli,” katanya sambil meludah. Dia mungkin emosi.

Pak Bupati saat itu tidak ada, hanya wakilnya saja. Tetapi belum sejam, mobilnya tiba-tiba hilang dari gedung megah itu.

Lagi-lagi, saya tidak salahkan pucuk pimpinan, bukan karena takut, tetapi lebih kepada mereka sedang asyik perbaiki perekonomian Bantaeng yang tengah defisit.

***

Kembali ke Dion, nasibnya sama-sama payah. Dia digusur, tepatnya dipaksa bongkar lapak dagangan sendiri.

“Daripada kami bersikeras untuk tetap diam di tempat, terpaksa kami mengalah kepada yang maha. Kami turunkan tensi ketegangan, kami mundur. Malam itu juga kami bongkar,” katanya, Rabu, 8 Mei 2019. Tepat sehari setelah lapak mereka bongkar sendiri.

Dia beranggapan, jika saja pihaknya tetap kekeh bertahan dengan hanya mengandalkan argumentasi, maka yakinlah tak ada satu pun yang disisakan dari lapak itu.

“Bayangkan ketika kami bertahan, takutnya keesokan hari, yang hanya didapat sisa kayu bekas lapak yang sudah rata dengan tanah. Pasti akan ada yang bergerak membongkar,” tuturnya.

Dia meyakini hal itu, pasalnya, yang mereka hadapi adalah PKK Bantaeng dan Dinas Koperasi, UKM dan Perdagangan. Ku pikir sampai di sini kalian paham–.

Dengan kerendahan hati, dia mengalah, membongkar lapak sendiri di tengah malam yang ditambah dinginnya air hujan menyengat tubuh.

Haha, untung saja hujan, setidaknya wajah sedih dan air mata mereka tertutupi oleh air dari langit. Bisa-bisa para lelaki tangguh itu malu. Yah, malu ketika dilihat sedang meneteskan air mata pilu.

“Kita bongkar itu malam juga. Sedih, iya, kami sedih sampai-sampai saya tidak bisa bendung air mata,” katanya.

Lebih-lebih dia menyayangkan sikap para penguasa itu. “Begini, posisi lapak kami kan ada di depan dan kami duluan ada di situ. Tak lama, mereka pasang tenda di belakang jualan kami, lantas kami dianggap mengganggu, dimana logikanya itu? Kami duluan berjualan, kok kami yang diusir,” katanya.

“Belum lagi, mereka andalkan orang suruhan untuk usir kami, memangnya kami ini apa?. Saya pikir bisa kan kalian sendiri yang datang suruh pindah, atau tepatnya usir,” lanjutnya.

Terlebih lagi, kata Dion, ini bisa dibicarakan baik-baik jangan malah ringan tangan menindas masyarakat kecil. Lebih enak ketika lapak jualan kita berdampingan, “saya kan bisa membantu”.

***

Screenshot postingan Dion di jejaring sosial facebook tentang curahan hatinya.

Namun itu hanyalah harapan, Dion berpasrah. Hanya saja, saya bandel menulis artikel ini. Satu yang saya ketahui, bahwa ‘jika Kamu sedih melihat rakyat tertindas, maka kita sama’.

(oleh Shandy)

  • Bagikan