Mahasiswa dan Tindakan Aparat
Oleh: Mustajib
(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik di Universitas Indonesia)
Hakikat dari gerakan mahasiswa pada umumnya adalah perubahan dan pemabaharuan yang tumbuh karena adanya dorongan untuk mengubah kondisi kehidupan yang tidak mensejahterahkan untuk digantikan dengan kondisi yang lebih baik, Albacth menekankan dua fungsi gerakan mahasiswa sebagai proses perubahan, yaitu menumbuhkan perubahan sosial dan mendorong perubahan politik.
Gerakan mahasiswa sebagai pendorong perubahan dan pembaharuan adalah peran yang universal diseluruh dunia, Hal yang tidak bisa di hindari oleh mahasiswa saat menyampaikan aspirasi adalah sikap arogansi aparat kepolisian yang terkadang melewati kewajaran manusia.

Salah satu factor penyebab adanya gerakan mahasiswa adalah adanya aturan yang tidak pro terhadap rakyat, seperti RUU yang ada di Indonesia terutama RUU KUHP dan RUU KPK , serta RUU Ekstradisi yang terjadi di Hongkong, kedua rancangan ini menjadi pemicu terjadinya gerakan aksi mahasiswa di dua negara ini hingga menjadi sorotan dunia.
Penolakan RUU
Demonstrasi mahasiswa di Indonesia menolak beberapa RUU di DPR yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat seperti RKUHP, RUU KPK.
Dalam aksi mahasiswa menuntut agar RKUHP di batalkan karena banyak pasal yang kontroversi semisal RKUHP mengenai korupsi seakan tidak memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi.
Zainur Rohman peneliti pusat kajian antikorupsi UGM mengatakan bahwa RKUHP merupakan rancangan beleid yang memanjakan koruptor, sejumlah pasal di RKUHP membuat hukuman bagi pelaku korupsi lebih rendah dari pada UU Tipikor, dalam pasal 2 UU Tipikor mengatur hukuman bagi pelaku korupsi di pidana penjara seumur hidup atau penjara minimal 4 tahun maksimal 20 tahun.
Sedangkan dalam RKUHP, pasal 603 RKUHP mengatur pelaku korupsi dihukum seumur hidup atau minimal 2 tahun maksimal 20 tahun.
Pasal lain yang juga menuai penolakan bagi mahasiswa adalah pasal RKUHP tentang penghinaan presiden, ketua harian masyarakat pemantau peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum UI mengatakan, putusan Mahkama Konsitusi pada 2006 sebenarnya sudah membatalkan pasal-pasal penghinaan terhadap presiden karena dinilai tidak sesuai dengan prinsip kepastian hukum dan demokrasi.
Sementara itu mahasiswa serta warga pro demokrasi di Hong Kong menolak RUU Ekstradisi, RUU Ekstradisi di Hong Kong , Ekstradisi Pelaku di dasari pada alasan bahwa jika kasus tersebut terjadi di tanah Taiwan, maka, pelaku harus dihukum berdasarkan hukum pidana di sana, Para mahasiswa yang pengkritik RUU dan kelompok pro-demokrasi melihat produk hukum itu sebagai bagian dari erosi kebebasan sipil mereka yang sejak lama dipandang sebagai keuntungan dan pembeda utama Hong Kong dari daratan Tiongkok.
Lebih lanjut, para pengkritik mengatakan bahwa undang-undang akan menempatkan penduduk Hong Kong dalam risiko terperangkap dalam sistem peradilan China yang mereka nilai “keruh”, di mana para terdakwa dapat menghadapi proses hukum yang tidak adil dalam suatu sistem di mana sebagian besar pengadilan pidana berakhir dengan vonis hukuman.Hal itu juga memacu kritik bahwa sistem peradilan Tiongkok tidak akan menjamin hak yang sama bagi para terdakwa layaknya di Hong Kong.
Refresif dan Arogansi Aparat Kepolisian
Mahasiswa menjadi generic dalam hal menyuarakan sebuah pendapat, paling cepat peka atas kebijakan dari pemerintah yang merugikan rakyat. Paling sigap akan menyuarakan segala hal yang jauh dari kata mensejaterakan rakyat.
Dalam perjalanan aksi gerakan mahasiswa selalu saja di hadapkan dengan tindakan refresif dan arogansi aparat kepolisian, dalam aksi penolakan RUU di Indonesia terjadi di bebarapa daerah bahkan hampir seluruh daerah di Indonesia.
Puncak dari tindakan Refresif dan arogansi aparat kepolisan adalah di kendari Sulawesi Utara, yang meninggalkan kisah yang pilu cukup dalam bagi para mahasiswa hingga disebut sebagai “SEDARA” atau September berdarah.
Dua mahasiswa tewas dalam aksi penolakan RUU yang tidak pro terhadap rakyat, Randi mahasiswa asal kendari yang meninggal dunia setelah tertembak di sebealah kanan, sedangkan Yusuf Kardawi meninggal dunia setelah menjalani operasi serius dibagian kepala.
Tindakan represif dan arogansi aparat kepolisian mendapatkan kecaman dari berbagai pihak, Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KONTRAS) misalnya meminta agar tidak melakukan tindak kekerasan terhadap pengunjuk rasa.
Yati Andriyani selaku kordinator kontras dalam keteranganya di BBC Indonesia mengatakan hentikan cara lama yang oragan dan kekerasan terhadap mahasiswa, polisi yang melakukan tindak kekerasan harus di hukum.
Tindakan represif dan arogansi aparat kepolisan juga terjadi kepada pengunjuk rasa di Hong Kong, polisi menggunakan meriam air (water cannon) untuk membubarkan pengunjuk rasa. Polisi menggunakan peluru karet, merica bola, dan sepon untuk mengatasi pendemo, bahkan menurut CNBC Indonesia ada sebuah video penembakan kepada pengunjuk rasa yang sedang viral di media hongkong bahkan sudah di verifikasi oleh Reuters (kantor berita yang bermarkas di landon inggris).
Ini membuktikan bahwa kepolisian di Hong Kong juga melakukan tindakan yang represif dan arogansi untuk membubarkan para pengunjuk rasa.
Mahasiswa merupakan kaum intelegensia atau cendikiawan bebas, Lewis Coser menyatakan bahwa kaum intelegensia adalah orang-orang yang kelihatannya tidak pernah puas menerima kenyataan sebagaimana adanya.
Mereka memepertanyakan kebenaran yang berlaku pada suatu saat, dalam hubungannya dengan kebenaran yang lebih tinngi dan luas. Oleh sebab itu, aksi-aksi mahasiswa itu harus dilihat sebagai aksi control sosial dengan kekuatan moral, sehingga tak perlu dicurigai berlebihan.
Seharusnya polisi lebih banyak mengawal agar mahasiswa dan pemerintah dapat melakukan dialog terbuka, bukan membubarkan massa aksi secara represif dan arogansi.