Makassar – Sekolah Tinggi Manajemen Ilmu Komputer (STMIK) Akba Makassar menggelar Konferensi Pers (Konpers) di pelataran kantor LBH Makassar terkait Drop Out (DO) 11 mahasiswa STMIK Akba.

Dalam Konpers tersebut disampaikan langsung oleh Presiden Mahasiswa (Presma) STMIK Akba, Misbahuddin mengatakan bahwa DO adalah bentuk nyata dari tradisi anti demokrasi yang terus dilanggengkan oleh pimpinan kampus.
“Sebuah kenyataan yang ironis, kampus sebagai ruang dimana tradisi dialektika dan perkembangan pengetahuan harusnya berkembang dengan mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi. Namun, pada kasus DO di STMIK Akba ini jauh dari prinsip demokrasi tersebut,” kata mahasiswa yang terjerat DO ini.

Misbahuddin bersama 10 kawan-kawannya beralasan bahwa pihaknya hanya mempertanyakan alasan pelarangan aktivitas malam di kampus serta pelarangan menggunakan fasilitas aula untuk kegiatan mahasiswa.


“Patut menjadi pertanyaan, bagaimana mungkin hal tersebut dijadikan alasan untuk menghukum dan memberikan sanksi DO?,” pungkasnya.
Menurutnya, apa yang dilakukan oleh mahasiswa STMIK Akba adalah bagian dari dinamika kebebasan berorganisasi dan kebebasan menyampaikan pendapat yang merupakan hak dasar yang melekat pada setiap manusia.
“Ini hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28 E (3) UUD 1945, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat,” ujarnya.
Selain itu, kata Misba, jaminan yang dikandung dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum.
“Tindakan memutus hak untuk mengakses pendidikan yakni dengan SK DO justru adalah bentuk pelanggaran terhadap hak warga negara atas hak-hak dasarnya, yakni hak berpendidikan,” tegasnya.
Sementara itu, Aliansi Perjuangan Rakyat (APR) meniai bahwa SK DO tersebut yang merupakan sebuah keputusan tata usaha negara yang tidak sah dan cacat hukum.
Cacat materil, karena dalam SK DO tidak dicantumkan apa yang menjadi alasan diterbitkannya SK DO tersebut.
Cacat formil, karena proses pemberian sanksi yang diatur dalam kode etik kemahasiswaan STMIK Akba.
SK DO pun diterbitkan begitu saja tanpa sidang disiplin dan sidang pembelaan, artinya Komisi Disiplin mengeluarkan rekomendasi DO tanpa dasar hukum sama sekali.
Dalam Buku Merah atau Kode Etik Kemahasiswaan, di halaman 86 disebutkan bahwa tugas dan wewenang Komdis adalah memanggil dan memeriksa mahasiswa yang patut diduga melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tentang tata tertib kehidupan kampus.
Menyusun laporan tertulis dan menyampaikan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan kepada pimpinan unit kerja disertai saran penyelesaiannya.
“Dari hal ini jelas Komisi disiplin keliru karena mengambil kesimpulan tanpa menempuh proses sebagaimana poin 1,” terang Misba.
Dalam Kode Etik tidak ditentukan sanksi atas setiap pelanggaran, sehingga menjadi pertanyaan apa yang menjadi alasan Komdis merekomendasikan Sanksi DO?
Maka dari itu APR menyampaikan pernyataan; menuntut Ketua STMIK Akba untuk segera mencabut SK DO 11 Mahasiswa dan merehabilitasi status kemahasiswaan mereka tanpa syarat, serta cabut larangan aktivitas malam.
Penuhi hak penggunaan fasilitas kampus untuk kegiatan kemahasiswaan yang menunjang kegiatan ekstrakurikuler.
Berikan kebebasan berorganisasi dan menyampaikan pikiran serta pendapat di dalam kampus tanpa ancaman intimidasi dan kekerasan akademik.
“Kami mengundang semua pihak untuk terlibat bersolidaritas melawan segala bentuk kekerasan akademik di dalam kampus,” kuncinya.(*).