Oleh: Nani Harlinda Nurdin, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Timur (UIT)
OPINI—Tulisan ini diilhami dengan satu pertanyaan sederhana namun cukup menggelitik, yakni “Apakah kemajuan dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan memberikan sumbangan bagi perbaikan moralitas manusia?”
Pertanyaan ini muncul sejak dua abad yang lalu, pada sebuah sayembara tertulis di salah satu akademi di kota Dijon, Prancis.
Dijawab dengan lantang oleh seorang yang bernama Jean Jacques Roussau, “TIDAK”. Bila dilihat pertanyaan ini mungkin tidak begitu berarti, sangat sederhana dengan jawaban yang sederhana pula, namun punya arti dan implikasi yang sangat luas.
Hal mana yang pada saat itu dinilai menentang arus, namun kemudian membawa nama JJ Rousseau sebagai seorang filsuf yang brillian dari Eropa.
Jika kita melihat kebelakang pada abad 18, kemajuan ilmu pengetahuan seni dan budaya dan filsafat di Prancis sudah demikian maju di banding negara-negara lain. Juga kemajuan tersebut ditandai dengan kemunculan tokoh-tokoh yang disebut filosof dengan berbagai karya-karyanya.
Sebut saja Descrates, Montesquieu dengan L’Esprit des lois (teori pemisahan kekuasaan), termasuk J.J Rossoue dengan Le Contract Social (Kontrak Sosial), dan teman-temannya. Sikap masyarakatnya pun tidak lagi terbelenggu oleh fatalisme dan ajaran-ajaran yang sifatnya dogmatis.
Pada saat itu rasionalitas sangat dijunjung tinggi, namun terdapat kenyataan lain yg begitu kontradiktif. Diketahui bahwa saat itu Louis XIV dengan congkak mengukuhkan absolutisme monarki melalui ucapannya I Etat C’ Est Moi, yang bermakna negara adalah aku. Sehingga bisa berlaku semaunya kepada rakyatnya. Akibatnya terjadilah ketidakadilan pemungutan pajak .
Yang mencolok, dimana kaum ningrat dan bangsawan dibebaskan dari pajak sedangkan rakyat kecil, dan petani dikenai pajak yang sangat tinggi. Para penguasa yang korup ini cebderung menghamburkan uang negara dengan mengadakan pesta-pesta yang nilainya pun sangat mahal.
Itu gambaran di negara Perancis dua abad lalu, pada saat dunia mengalami proses modernisasi di berbagai dimensi.
Masyarakat modern saat itu ditandai dengan industrialisasi, terbukanya komunikasi, teknologisasi kehidupan. Semua ini dikembangkan oleh prosedur-prosedur ilmiah yang berasal dari ilmu pengetahuan.
Inilah zaman aufklarung, di mana manusia memiliki kesadaran akan dirinya sendiri atau biasa disebut dengan zaman fajar budi.
Pertanyaannya bagaimana diera ini, dimana kemajuan ilmu dan teknologi yang begitu maju di jaman big data dimana hampir semua hal dapat diketahui dengan begitu cepat?
Lalu bagaimana gambarannya saat ini, di negara kita tercinta? Mungkin kita semua masih ingat kasus Gayus Tambunan terpidana mafia pajak milliaran rupiah ditambah kasus korupsi dalam kurun waktu empat tahun ini (laporan kinerja KPK 2016-2019) sebanyak 608 tersangkanya melibatkan pejabat negara, kepala daerah, anggota dewan perwakilan rakyat, dan sederet nama beken pejabat publik lainnya dengan berbagai modus perkara sehingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 63,8 Triliun.
Bila dilihat latar belakang mafia pajak dan para tersangka kasus korupsi di negara kita adalah mereka yang memegang kewenangan besar dengan kata lain mereka yang punya kuasa. Beberapa anekdot muncul seperti: rakyat bayar pajak untuk negara malah masuk kantong si Babe.
Belum lagi para Babe yang duduk di kursi empuk selalu mengadakan acara-acara, pesta-pesta menggunakan fasilitas negara, uang negara, rumah milik negara, kendaraan milik negara dan lain-lain dengan mengatasnamakan dirinya sebagai abdi negara, wouwww.
Padahal mereka punya latar belakang pendidikan yang tinggi, hidup di zaman teknologi yang sangat maju pula. Namun apa yang terjadi? Apakah tingginya ilmu pengetahuan dan latar belakang ekonomi yang tinggi itu
menjamin mereka tidak berbuat melebihi batas kewenangan dan kekuasaannya? Jawabannya TIDAK. Inilah yang melatarbelakangi kritikan Rousseau, rasionalisme menurutnya bahwa manusia akan mengalami perkembangan sekaligus antara rasionalitas dan kesempurnaan moral tidaklah benar.
Kemajuan ilmu pengetahuan tidak membawa kemajuan moral, bahkan sebaliknya. Dalam banyak segi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi justru mendorong manusia untuk bertindak korup dan melawan nuraninya, seperti beberapa kasus yang digambarkan diatas. Meskipun dalam hatinya mereka sadar yang mereka lakukan adalah hal yang salah, namun tetap dilakukan dengan melawan nuraninya..
Jadi jelas bahwa kemajuan seni, ilmu pengetahuan dan tekhnologi sama sekali bukan jaminan atas kemajuan di bidang moralitas. Peradaban manusia tidak hanya ditentukan oleh tinggi rendahnya nilai seni dari artefak yg diciptakannya, luasnya ilnu pengetahuan maupun aplikasi teknologi yang telah ditemukannya.
Nah, tidak salah dong, Rousseau menganjurkan supaya manusia kembali ke alam, Retour A La Nature bahwa moralitas yang asli dan benar-benar manusiawi justru ditemukan dalam manusia yang masih alamiah dan manusia harus identik dgn dirinya sendiri untuk mencari kebaikan dan kebenaran sejati.
Yups, di setiap pembahasan mengenai etika dan moralitas dalam konteks kenegaraan sepertinya pemikiran Rousseau ini masih akan terus relevan yaaa? Lalu pertanyaannya kemudian adalah dapatkah kita kembali ke alam ditengah hiruk pikuknya persaingan dalam menciptakan teknologi dan globalisasi pada setiap aspek kehidupan manusia saat ini?
Mari kita renungkan bersama.