News, Opini  

Benteng Malewang, Bagaimana Riwayatmu Nanti?

Benteng Malewang, Bagaimana Riwayatmu Nanti?

Benteng Malewang, Bagaimana Riwayatmu Nanti?

oleh: Irham Al-Hurr*

PO – Apakah akan terus menghilang dalam kabut kelupaan, atau bangkit dalam tangan generasi yang mengerti arti warisan jiwa?
Di belahan selatan Sulawesi, di pelukan waktu yang telah mengendap dalam sunyi sejarah, berdirilah sebuah desa bernama Benteng Malewang. Ia bukan sekadar nama yang dicatat dalam lembaran administrasi Kecamatan Gantarang, Kabupaten Bulukumba. Ia adalah narasi panjang tentang harga diri, tentang perjuangan, dan tentang warisan nilai yang tak terukur oleh harta dunia: siri’ na pacce.

Benteng Malewang lahir dari tanah yang keras, namun subur oleh keberanian. Dulu, ia berdiri kokoh di garis api, di antara dua kekuasaan besar: Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Di masa itu, desa ini bukan sekadar pemukiman, melainkan perbatasan jiwa, tempat di mana darah ditumpahkan untuk menjaga kehormatan, bukan karena kuasa, tapi karena keyakinan.

Jejak-jejak sejarah masih terpatri di selatan Sungai Maesa, di sana artefak-artefak tua masih bicara dalam diam. Mereka adalah saksi bisu tentang pertempuran dan pengorbanan, tentang generasi yang menjadikan siri’ na pacce sebagai tiang rumah dan atap jiwa. Mereka tidak membangun tembok dari batu, tapi dari tekad yang tak mudah runtuh.

BACA JUGA  Minta Warga Tak Konvoi, Bupati Andi Utta Disambut Salawat Badar

Benteng Malewang dikenal sebagai desa bermental baja, bukan karena tubuh yang kekar, tapi karena jiwa yang tak mudah tunduk. Nilai sakral dijaga dalam setiap napas. Saukang, tempat suci pemujaan leluhur, masih dibersihkan dengan doa-doa tua. Bungung Ma’gandrang, masih berbunyi sakral sebagai panggilan pada arwah penjaga pendahulu. Salu’ Kajang, Balang To’do’, dan Balang Sapiria—bukan hanya tempat atau bangunan, tapi penanda bahwa desa ini dibangun bukan hanya oleh tangan, tapi oleh hati yang tak rela kehilangan kehormatan.

Namun kini, Benteng Malewang seolah menggigil dalam senyap. Angin yang dulunya membawa gema gendang ma’gandrang kini hanya membawa kabar getir. Tatanan pemerintahan yang rusak merobek tenun nilai yang diwariskan turun-temurun. Pemimpin yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi pengaba. Siri’ na pacce yang dulu dijunjung tinggi, kini tergeletak, tak dikenali, tak dihargai.

BACA JUGA  Usai Gelar Konferensi Pers, Fahidin Umumkan Rekomendasi PKB ke Tomy-Makkasau

Warga bertanya-tanya, apa arti pemimpin jika tak mengerti malu dan tak peduli empati? Apa guna jabatan jika lupa pada warisan darah dan air mata? Benteng Malewang perlahan kehilangan suaranya. Saukang dilupakan, bungung ma’gandrang dibungkam. Balang To’do, dan Balang Sapiria yang dulu menjadi tameng kini menjadi bangunan tanpa makna. Seolah waktu ingin memudarkan desa ini dari peta sejarah, dari ingatan para anak cucu.

Namun masih ada yang bertahan. Di sudut-sudut rumah panggung yang retak, di mata-mata tua yang menatap jauh tanpa kata, masih ada harapan yang menyala. Mereka percaya, Benteng Malewang belum tamat. Ia hanya lelah, bukan kalah. Ia hanya terluka, belum mati. Dan luka itu bisa sembuh, jika kita kembali merawatnya dengan siri’ na pacce.

Benteng Malewang, engkau ibarat pohon tua di bukit senja. Akarmu menjalar jauh ke dasar tanah sejarah, batangmu kuat menahan hujan dan panas zaman. Namun rantingmu kini patah-patah, daunanmu gugur satu-satu. Akan datang musim baru—entah musim berbunga atau musim mati.

BACA JUGA  Kakek Lansia Pelaku Rudapaksa Anak Dibawah Umur Diamankan Polisi

Bagaimana riwayatmu nanti, Benteng Malewang?
Apakah akan terus menghilang dalam kabut kelupaan, atau bangkit dalam tangan generasi yang mengerti arti warisan jiwa?

Kepada anak muda desa, dengarlah suara tanahmu. Kepada pemimpin yang datang, renungilah jejak langkah para leluhur. Kepada semua yang mencintai nilai, genggamlah kembali Bungung Ma’gandrang, bersihkan Saukang, jaga Salu’ Kajang, dan bangun kembali nilai Balang To’do’ dan Balang Sapiria itu, bukan hanya dari batu, tapi dari komitmen yang teguh.

Karena jika siri’ na pacce mati di Benteng Malewang, maka bukan hanya desa ini yang kehilangan arah, tetapi juga sejarah kita—sejarah benteng yang sejati.