Mahasiswa Bantaeng Berdemo di Depan DPRD, Ini Tuntutannya

  • Bagikan

Bantaeng, PUBLIKASIONLINE.ID – Belasan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Bantaeng Bersatu (AMBAR) berdemonstrasi di depan DPRD Kabupaten Bantaeng pada Senin, 7 Oktober 2019.

Mereka kembali mendesak PT. Huadi Nickel-Alloy Indonesia untuk menuntaskan persoalan yang dialami warga di sekitaran Desa Papanloe, Kecamatan Pa’jukukang, Kabupaten Bantaeng.

Dalam orasinya, koordinator aksi Irsan Akbar, menyebutkan bahwa masih banyak hal yang belum direalisasikan PT. Huadi, seperti soal ganti rugi lahan hingga keluhan penyakit yang diderita warga.

“Sejumlah warga setempat mengalami muntah darah karena menghirup debu dari polusi pabrik. Termasuk anak-anak yang menderita infeksi saluran pernafasan atas (Ispa) harus menjalani pemeriksaan di sejumlah klinik. Belum lagi penyelesaian soal ganti rugi lahan,” ungkap Irsandi Akbar.

Mahasiswa lainnya, Ardi, juga menyebutkan PT. Huadi melanggar notulen dari hasil rapat di Kantor Gubernur Sulsel pada 18 November 2018 lalu. Dalam pertemuan saat itu, perusahaan yang memproduksi ferro nikel itu harus menghentikan sementara kegiatan di pabrik lantaran adanya keluhan masyarakat.

“Kehadiran mahasiswa di DPRD untuk memberi peringatan kepada PT. Huady yang melaksanakan industri tambang untuk bekerja sesuai aturan dan komitmen yang telah disepakati. Untuk itu kami mendesak DPRD Bantaeng segera membentuk pansus Huady,” jelasnya.

Mahsiswa juga menyatakan akan menguji DPRD apakah mampu menindak lanjuti kegelisahan masyarakat untuk menyelesaikan polemik antar PT. Huadi dan masyarakat.

Ketua DPRD Bantaeng, Hamsyah menerima aspirasi para demonstran. Dia juga secara tegas menyatakan akan membentuk panitia khusus (Pansus) penyelesaian soal PT. Huadi.

Hanya saja, itu bisa dilakukan setelah alat kelengkapan dewan terbentuk.

Meski begitu, pihak DPRD akan mendalami persoalan ini.

Bahka bila perlu, kata Hamsyah, dewan akan mengajak mahasiswa berkunjung ke PT. Huadi untuk mempertanyakan berbagai persoalan yang terjadi di lapangan.

“Insya Allah kami akan membentuk pansus PT. Huadi setelah terbentuk alat kelengkapan dewan, termasuk akan bersama-sama para mahasiswa jika dimungkinkan untuk mendatangi perusahaan smelter tersebut,” tandas Hamsyah.

Diketahui hampir di sepanjang jalanan kampung Dusun Mawang, sebuah tembok setinggi tak lebih dari tiga meter menjadi pemisah antara limbah sleg dengan perkampungan yang dihuni warga.

Ironisnya material berdebu tersebut lebih tinggi daripada tembok itu sendiri, sehingga ketika angin bertiup maka dengan mudahnya membawa butiran debu menempel di rumah-rumah warga yang tepat berada di sisi tembok pembatas.

Jarak yang begitu dekat sangat berisiko bagi warga. Sebut saja bagi yang mata pencahariannya sebagai pembuat batu bata merah dekat perusahaan tersebut. Namanya adalah Kamil, kediamannya tepat bersebelahan dengan limbah sleg milik PT Huadi yang kini sudah membukit.

Masyarakat setempat yang memproduksi batu bata merah pun tak mampu lagi untuk bekerja. Pasalnya debu bakal menyelimuti udara hingga pekerja agak kesulitan untuk bernafas.

“Kalau tebal debu, yah pastinya berhenti dulu, karena yang pencetak batu dari luar kampung biasanya tidak mau datang untuk bekerja karena kita ini bekerja malam. Jadi makanya kalau tebal debu begini saya biasa pergi ke tempat lain untuk bekerja batu, jadi pekerja di sini rata-rata tidak tahan bekerja kalau debu tebal,” kata Kamil.

  • Bagikan