Catatan Kelam Warga untuk Huadi

  • Bagikan

BANTAENG — PT. Huadi Nickel-Alloy, perusahaan pemurnian nikel yang terletak di pesisir Sulawesi Selatan bagian selatan, tepatnya di Kecamatan Pa’jukukang, Kabupaten Bantaeng. Lokasi perusahaan itu disebut-sebut Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), namun ternyata menyimpan catatan kelam bagi masyarakat sekitar.

Berdiri di lahan seluas 50 hektare dan baru saja, belum lama ini, telah diresmikan Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah.

Lagi dan lagi, NA, akronim Nurdin Abdullah– memberikan “suprise” bagi masyarakat Bantaeng, sejak dia menduduki kursi pimpinan tertinggi di daerah yang berjuluk Butta Toa itu. yah, dia pernah jadi Bupati dua periode.

Huadi Nickel-Alloy. Perusahaan smelter yang kokoh berdiri dan digembar-gemborkan menjadi proyek investasi besar bagi Bantaeng. Namun siapa sangka menyimpan duka bagi masyarakat setempat.

Petani Rumput Laut yang Merugi

Mata pencaharian daerah pesisir, satu diantaranya menjadi petani rumput laut. Berkat adanya pelabuhan pengangkut nikel PT Huadi Nickel-Alloy, lahan petani tersebut yang kebetulan tepat berada di jalur kapal tidak lagi bisa difungsikan. Parahnya, tidak ada ganti rugi yang diberikan.

Mungkin saja ada niatan ganti rugi dari salah satu perusahaan besar di Bantaeng ini, tetapi entah kapan?. Pasalnya kurang atau lebih, sejak dua tahun lalu, petani rumput laut yang sempat ditemui, dia bernama Raodding membeberkan kalau tambaknya tidak lagi menghasilkan dan kerugian ditaksir hingga puluhan juta rupiah.

“Panjang pematang 150 meter dan panjang bentangan 27 meter. Bayangkan mi berapa banyak kerugianku sejak dua tahun lalu tidak kasi turun bibit rumput laut karena ditabrak terus kapal Huadi,” beber Rodding saat dijumpai belum lama juga.

Rodding berkisah, sejak kali pertama proyek pelabuhan pengangkut smelter itu dikerjakan, ia mulai merasa risih menduga ia bakal gagal panen lantaran ombak air laut yang kurang maksimal, termasuk angin laut juga tidak begitu menunjang untuk bibit rumput lautnya, hingga menduga kalau kapal akan merusak jalur pembibitannya. Dugaan itu betul terjadi, nyatanya kini petani rumput laut tersebut tak bisa lagi menabur benih di dekat pelabuhan.

“Pertama dia (pelabuhan itu) mau dikerja, masuk di lokasi tambak rumput laut saya, jadi ku naikkan talinya, tapi pak Camat Pa’jukukang, pak Nompa, bilang ini (jalur kapal) tidak dikena. Setelah pelabuhan sudah di kerja, kapal mulai masuk, nah ditabraklah tali bibit rumput laut saya, itu sudah tiga kali kejadian begitu. Kalau bicara kerugian, selama pelabuhan itu ada, saya pasti rugi, karena saya tidak kasi turun bibit. Buat apa juga dikasi turun bibit rumput laut kalau dikena lagi sama kapal? Biasanya pemasukanku kalau panen kisaran 2 juta sampai 5 juta. Itu penghasilan satu bulan. Rugi, paling tidak sudah ada puluhan juta, hitung selama dua tahun ini ada kapal,” bebernya.

Hal itu pun memaksanya untuk masuk mempertanyakan ganti rugi atau semacam pembebasan kepada pihak Huadi. Hanya saja, sebatas janji yang didapatinya.

“Saya masuk ke dalam, ku tanya bu Lily, kenapa saya ini dibodoh-bodohi, kalau ada masalah begini (kapal milik Huadi tabrak bibit rumput laut) saya yang bantu selesaikan. Setelah yang lain selesai, kenapa saya tidak dibayarkan? Masalahnya ini bibit rumput laut ditabrak terus (kapal) setiap masuk (di pelabuhan),” jelasnya.

Sekedar diketahui, Radding kerap dipanggil oleh perusahaan tersebut untuk menjadi penunjuk lokasi atau tempat beberapa petani rumput laut di areal pelabuhan bongkar – muat itu. Diketahui pula Lily merupakan Manager Departement Purchasing PT. Huadi Nickel-Alloy.

Mereka bersepakat untuk adanya ganti rugi. Hal itu juga diamini oleh Lily. Hanya saja, para petani rumput laut yang merugi ini harus bersabar menunggu waktu dibuktikannya kesepakatan itu.

“Ibu Lily itu orang di dalam di Huadi, dia yang bayarkan petani rumput laut yang rugi karena jalur itu dilalui oleh kapal. Ini kenapa saya tidak dibayarkan ganti rugi padahal ada nama dalam berita acara ganti rugi, saya tandatangani,” katanya.

Bukan hanya Raodding, pil pahit juga terpaksa ditelan beberapa rekannya sesama petani rumput laut. adalah Suaming dan Baharuddin.

Sebenarnya ada 12 petani rumput laut yang menjadi korban jalur kapal bongkar-muat itu. Namun sudah ada yang lebih dahulu mendapat ganti rugi.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, mereka yang telah mendapat ganti rugi yaitu Pudding, Muhlis, Raba, Usi, Dg.Sahiri, Sa’bi, Subha, Dg.Tia dan Alimuddin Sewang.

Pembuat Batu Bata Merah Juga Merugi

Bukan hanya petani rumput laut yang mendapati kerugian, pembuat batu bata merah yang sempat dikunjungi di sekitar pemurnian smelter itu, tepatnya di Dusun Mawang, Kecamatan Pajukukang, Kabupaten Bantaeng juga merugi.

Namanya adalah Kamil, kediamannya tepat bersebelahan dengan limbah sleg milik PT Huadi Nickel-Alloy yang kini sudah membukit.

Sepintas tak ada masalah dengan limbah sleg tersebut, hanya saja ketika musim kemarau tiba dengan intensitas angin yang cukup kencang seperti saat ini, masyarakat setempat yang memproduksi batu bata merah tak mampu lagi untuk bekerja. Pasalnya debu bakal menyelimuti udara hingga pekerja agak kesulitan untuk bernafas.

“Kalau tebal debu, yah pastinya berhenti dulu, karena yang pencetak batu dari luar kampung biasanya tidak mau datang untuk bekerja karena kita ini bekerja malam. Jadi makanya kalau tebal debu begini saya biasa pergi ke tempat lain untuk bekerja batu, jadi pekerja di sini rata-rata tidak tahan bekerja kalau debu tebal,” kata dia.

Limbah itu Ancam Kesehatan Warga

Hampir di sepanjang jalanan kampung Dusun Mawang, sebuah tembok setinggi tak lebih dari tiga meter menjadi pemisah antara limbah sleg dengan perkampungan yang dihuni warga.

Ironisnya material berdebu tersebut lebih tinggi daripada tembok itu sendiri, sehingga ketika angin bertiup maka dengan mudahnya membawa butiran debu menempel di rumah-rumah warga yang tepat berada di sisi tembok pembatas.

Jarak yang begitu dekat sangat berisiko bagi warga, selain mengancam mata pencaharian seperti yang terjadi pada pembuat batu bata merah, juga tentunya mengancam kesehatan warga karena akan terhirup, utamanya anak-anak.

“Kita di sini sudah banyak yang sampai batuk-batuk karena debu dan suara pabrik kalau malam bikin susah tidur, ribut sekali,” kata Daha, salah satu warga Dusun Mawang saat ditemui belum lama ini.

Jagung pun Mati

Bukan sekedar mengancam kesehatan manusia, kesehatan tanaman dan tumbuhan pun ikut terancam akibat limbah milik PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia.

Dusun Mawang kini tampak sebagai daerah yang panas dan gersang. Tanahnya kering ditambah udara panas berembus dari arah pabrik. Dampaknya juga mengakibatkan kerusakan pada tanaman jagung yang warga setempat tanam.

“Di sini tanaman sudah tidak ada yang jadi sejak pabrik beroperasi. Pintu ditutup terus karena debu tebal sekali, aromanya juga menyengat ada bau besinya itu debu,” kata Daha.

Nurdin Abdullah ataukah PT Huadi Tak Tepati Janji?

Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah resmikan PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) Pa’jukukang pada Januari 2019 lalu. Bagi dia pembangunan smelter merupakan prioritas, sehingga peresmian perusahaan ini diakuinya ibarat mimpi jadi kenyataan.

Sewaktu peresmian saat itu, mantan Bupati Bantaeng dua periode sempat menyinggung soal pelibatan warga di sekitaran lokasi KIBA itu untuk diberi lapangan pekerjaan dan menjadi bagian dari perusahaan itu.

Kelak, kata Nurdin, serapan tenaga kerja bagi warga lokal, ditargetkan sampai 2.000 orang. Termasuk warga di sekitar perusahaan smelter itu.

Sebelum beroperasi terdapat desas-desus, pabrik akan membawa keuntungan. Namun ternyata, perusahaan yang berdiri sejak 2014 dan beroperasi resmi pada 2019 lalu hanya memberi angan-angan bagi warga Dusun Mawang.

“Susah sekali masuk, padahal dulu janjinya akan memprioritaskan orang sini tapi ternyata tidak,” ketus Daha, mengenang perjuangan beberapa orang yang bolak-balik memasukkan lamaran kerja.

H. Ali Simeng, warga lain di daerah tersebut, mengatakan kalau janji yang pernah diucapkan Nurdin Abdullah sewaktu masih menjabat sebagai Bupati Bantaeng hanyalah sebatas penyemangat bagi warga. Pasalnya apa yang telah terucap itu tak pernah terbukti.

“Banyak pengangguran tapi tidak dikasi masuk, padahal janjinya yang diutamakan itu pemuda di dusun Mawang,” kata Ali.

Dalam hal ini Nurdin Abdullah tak bisa disebut berbohong, sebab dia harus memikirkan Sulawesi Selatan, ditambah lagi persoalan pemakzulan yang kini kian memanas.

PT Huadi juga tidak bisa disebut bahwa tak menepati janji. Pasalnya sudah ada dua pemuda sekitar perusahaan tersebut yang direkrut oleh Manager Human Resources Departmen (HRD) atau HR Manager PT Huadi, Ritha Latippa. Hanya saja, ada kepentingan di balik perekrutan itu.

“Ada diambil (bekerja) tapi dua orangji, itupun karena pencalegan baru ada masuk,” kata Ali.

Diketahui HR Manager PT Huadi tersebut merupakan caleg nomor urut 1 dari PAN untuk dapil Bantaeng IV meliputi Pa’jukukang. Sayangnya pemilik nama asli Andi Andrianti Latippa ini gagal merebut kursi parlemen Bantaeng.

Terpisah, Manager Departement Purchasing PT. Huadi, Lily menjelaskan mengenai penerimaan karyawan. Lily berkilah, pihaknya hanya menggunakan tenaga usia produktif dan sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

“Tetapi jika ada informasi yang seperti ini akan dilakukan pemetaan kembali, data kependudukan yang jelas dan usia produktif di masyarakat sekitar pabrik, sehingga terakomodir sesuai dengan data akurat dan dapat dipertanggungjawabkan,” tuturnya.

Desas-desus Analisis Mengenai Dampak Lingkungan alias AMDAL

Kabar beredar bahwa perusahaan yang berdiri kokoh di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) itu belum memiliki AMDAL. Kabar lainnya, perusahaan yang memproduksi ferronickel atau produk nikel batangan setengah jadi itu belum juga memiliki AMDAL, sejak dibangun hingga kini.

Kondisi pertama, PT. Huadi Nickel-Alloy mengklaim sudah mempunyai AMDAL. Dalam satu kesempatan, belum lama ini, Radar Selatan sempat berbincang dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Abdullah Taibe. Raut wajahnya sedikit mengkerut saat disodorkan pertanyaan apakah perusahaan tersebut sudah memiliki AMDAL?

Lagi dan lagi Taibe menyanggah, menyebut bahwa peroses penerbitan AMDAL tidaklah mudah, perlu kajian yang mendalam. Sebuah perusahaan besar menurutnya tak akan berani melakukan pekerjaan jika belum memiliki alas yang kokoh. Meski demikian, diakuinya penerbitan AMDAL itu adalah kewenangan Pemerintah Provinsi.

“Saya pikir itu kewenangan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi untuk mengeluarkan AMDAL. Itu (AMDAL) dikaji oleh professor-professor dari Unhas. Jadi ada itu (AMDAL).

Dia pun bergeming, tak ada alasan untuk pemberhentian sejenak perusahaan smelter itu. Sebab sejauh ini pihaknya belum disibukkan dengan adanya laporan dari warga akan pencemaran lingkungan.

Taibe juga menyebut kalau perusahaan itu mempunyai pengaruh bagi PAD Bantaeng, meski hanya sedikit.

“Dampak apa yang kita lihat? belum ada yang keberatan, masyarakat yang tercemar kulitnya, ini sekedar komoditas politik. Kita tidak bisa memberikan asumsi bahwa saya tercemar. Sementara perusahaan ini memberikan invest kepada Bantaeng. Royaltinya yang masuk ke daerah. itulah yang menjadi power pemasukan bagi kabupaten Bantaeng, meski belum banyak,” lanjutnya.

Sementara soal AMDAL, dia memastikan bahwa PT Huadi Nickel-Alloy sudah ada. Sekali lagi dia meyakinkan bahwa pihaknya sudah diundang dalam pembahasan tentang analisis dampak lingkungan itu.

“Itu dia (PT. Huadi) punya dokumen itu, mulai dari hasil kaji konsultasi publik masyarakat, sampai pada kerangka acuan, sampai kepada AMDAL RKL (rencana kelola lingkungan) – RPL (rencana pemantauan lingkungan). Dan dokumen itu tebal, pembahasan dilakukan seluruh stakeholder yang ada, terus saya diundang untuk hadir, karena tidak berani kalau kita tidak diundang. Saya tahan kalau tidak diundang. Saya hanya memberikan kesempatan kepada investor, saya deteksi saya proteksi, setiap ada kegiatan seperti itu, ada kajian lingkungan, saya tidak berani mengeluarkan ijin lingkungan kalau tidak ada kajian,” kuncinya.

Menurutnya semua usaha atau kegiatan, baik pemerintah maupun non pemerintah wajib melakukan kajian lingkungan. Jika tidak, dipastikan izin tidak akan keluar dari Sintap.

“Ketika ada dampak terkait lingkungan, saya harus uji dulu di laboratorium saya atau laboratorium provinsi untuk menguji potensi terjadinya pencemaran. Ada tim ahli dari Makassar mengambil sampel air untuk diuji. Misal begini, sampel air itu ternyata melampaui baku mutu, nah itu harus disampaikan bahwa pembuangan limbah ini melampaui baku mutu. Sesuai dengan komitmen kita di kajian lingkungan itu, di AMDAL itu, mengatakan bahwa limbah padat atau limbah cair yang akan jatuh ke median saya harus proteksi melalui IPA, termasuk pengelolaan limbah. Kalau tidak lakukan seperti itu, yah mereka harus benahi dulu itu, tapi mereka sudah punya AMDAL,” paparnya.

Kondisi kedua, PT Huadi Nickel-Alloy, lagi – lagi mengkalim punya AMDAL, namun klaim itu tidak berdasar bagi sekelompok mahasiswa yang menamakan diri Aliansi Mahasiswa Bantaeng Bersatu (AMBAR).

Mereka rela sikut-sikutan dengan aparat keamanan di Kantor Gubernur Sulsel di Makassar demi menuntut kejelasan bahwa Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulsel, berdasarkan surat notulen yang ditandatangani pada tahun 2018 berisi PT. Huadi agar selayaknya menghentikan sementara produksi sampai terpenuhinya izin PPLH dan izin lingkungan.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sulsel, Ir. Andi Hasbi pun tak mengelak. Dia mengakui benar adanya penandatanganan surat tersebut.

“Memang betul bahwa dalam rapat yang dilakukan pada tanggal 21 November 2018, pihak PPLH merekomendasikan PT. Huadi untuk segera menghentikan pengoperasian sebelum surat lingkungan keluar dari Dinas Lingkungan Hidup Bantaeng,” katanya di Makassar saat aksi itu.

Warga Tak Tahu Mengadu ke Mana

Bukan hanya Dinas LH Bantaeng yang mengaku tak mendapat laporan dari masyarakat akan aktifitas PT Huadi Nickel-Alloy yang menghasilkan limbah dan berdampak bagi masyarakat sekitar.

Dinas Kesehatan Bantaeng juga tak mengetahui hal itu. Seperti yang diutarakan Tamsir, Kepala Seksi Kesehatan Kerja pada instansi tersebut, mengatakan bahwa selama ini pihaknya tak bisa berbuat lebih selagi tidak ada laporan secara administratif untuk menuntaskan persoalan kesehatan masyarakat dan pekerja di perusahaan tersebut.

Kendati pihaknya mau bersosialisasi soal Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di perusahaan besar itu, namun menurutnya tidak ada respon berupa undangan untuk mensosialisasikan hal tersebut.

“Biasa mau sosialisasi di dalam perusahaan, tapi dari perusahaan, kami sampai sekarang tidak pernah dipanggil untuk disosialisasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3),” kata dia.

Dia pun memberikan saran kepada masyarakat untuk bersegera melaporkan hal ini kepada Pemerintah Desa setempat guna melakukan koordinasi dengan Puskesmas Baruga.

Sebab ada mekanisme yang harus dilalui agar Dinkes Bantaeng bisa terjun langsung ke lapangan untuk meninjau mereka yang terpapar debu.

“Sebaiknya masyarakat yang terpapar menyampaikan ke pemerintah desa setempat ke puskesmas Kita tidak boleh langsung, karena itu wilayah Puskesmas Baruga. Karena kita tidak bisa juga turun untuk meninjau kesehartan jika tidak ada komplain dari warga setempat, tidak ada koordinasi antara Pemerintah setempat dengan Puskesmas Baruga. Nah nanti setelah itu baru kami di Dinas Kesehatan bisa untuk memulai intens koordinasi,” jelasnya.

Untuk sementara, dia meminta kepada warga sekitar untuk menggunakan masker guna menghindari paparan debu. Meski begitu, ia tidak menjamin penggunaan masker bisa menyelesaikan persoalan dampak debu dari limbah sleg yang ditiup angin. “Itu setidaknya bisa mengurangi paparan debu,” kata dia.

Pihaknya pun menilai K3 di perusahaan tersebut tidak efektif. Menurutnya, jika standar K3 di dalam perusahaan tersebut berjalan baik, maka seharusnya tidak ada masyarakat yang menderita penyakit pernapasan.

“Otomatis jika standar K3 di dalam berjalan dengan baik, insyaallah tidak akan terpapar juga ke masyarakat,” pungkasnya.

PT Huadi Berbenah

Sementara itu pihak manajemen PT Huadi Nickel Alloy, tidak menampik jika timbunan material menghasilkan debu. Perusahaan saat ini sedang memikirkan rekayasa teknologi bagaimana mengurangi dampak.

“Memang penempatan stock pile untuk bahan baku berbatas dinding dengan penduduk. Tetapi angin timur yaitu bulan Mei hingga Oktober bertiup ke arah pemukiman masyarakat. Sedang dipikirkan rekayasa teknik untuk dapat mengurangi dampak debu yang disebabkan oleh angin yang bertiup kencang ke arah barat. Yang terdampak memang berada di sisi barat yaitu Dusun Mawang,” kata Manajer Human Resources Department PT Huadi Nickel Alloy, Lily, Jumat 9 Agustus 2019.

Ditanya kenapa material pabrik diletakkan sangat dekat dengan perumahan warga setempat, bahkan posisinya lebih tinggi dari tembok itu sendiri, menurut Lily, posisi stock pile atau penampungan bahan baku memang di sisi barat dari pabrik yang berbatasan dengan Dusun Mawang.

“Perusahaan belum setahun beroperasi sehingga dampak perubahan arah angin ternyata mulai ada sejak Mei tindakan mengurangi debu ini lebih diintensifkan dengan memperbanyak volume penyiraman sehingga tidak kering dan tidak mudah terbang terbawa angin. Juga sedang dianalisis rekayasa teknis yang lain yang dapat mengurangi debu yang berterbangan ke arah pemukiman,” jawabnya.

*Tulisan ini merupakan karya Siddiq, Jurnalis Radar Selatan.

  • Bagikan