MAKASSAR — Di masa-masa awal pemerintahannya, Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah terus mendapat sorotan publik mengenai berbagai kebijakannya.
Hal itu lantas banyak menimbulkan resistensi dari bawahannya.
Salah satu yang paling hangat akhir-akhir ini diperbincangkan, kasus pemecatan Kepala Biro Pembangunan Pemprov Sulsel, Jumhar.
Pemecatan itu dinilai banyak pihak sebagai blunder fatal atas keputusan mantan Bupati Bantaeng tersebut.
Dalam sistem pemerintahan, pergeseran atau mutasi jabatan sebenarnya adalah hal yang lumrah. Namun khusus ihwal pemecatan Jumhar, banyak pihak menilainya sebagai sebuah keanehan.
Hal ini diperkuat oleh tulisan wartawan senior, Mulawarman yang membeberkan bila pemecatan tersebut sarat kedengan kepentingan pribadi Nurdin Abdullah yang menjadikan jabatannya sebagai ajang mencari keuntungan pribadi.
Menurut Mulawarman, pemecatan Kepala Biro Pembangunan Sulsel ini disebabkan karena dia menolak ‘orang dekat’ Nurdin yang datang ke kantornya untuk meminta ‘jatah’ pembangunan infrastruktur, padahal terkait hal itu sudah ada prosedurnya melalui lelang yang transparan dan saat ini sedang memasuki tahap akhir.
Keputusan-keputusan yang kontraproduktif ini, bila dirunut jauh ke belakang memang banyak meninggalkan jejak dalam kepemimpinan Nurdin Abdullah sewaktu masih menjabat sebagai Bupati di Kabupaten yang berjuluk Butta Toa.
Sebut saja, adanya berbagai dugaan yang pernah sampaikan seorang warga Bantaeng, Hamra Nakka yang membeberkan berbagai dugaan korupsi dan proyek ‘mangkrak’ di Kabupaten Bantaeng selama 9 tahun terakhir atau selama NA menjadi bupati.
Beranikah bongkar “dosa-dosa lama” Bantaeng? Berikut datanya.
1. Kantor Plum UKM diduga beralih fungsi menjadi hotel. Padahal mengacu pada bangunan awal, sama sekali tidak ada pembangunan hotel. Sementara temuannya, justru banyak ditemukan kamar nginap beserta fasilitasnya.
2. PPI Birea yang dianggarkan 14 miliar, bangunannya banyak yang sekadar di renovasi atau ditambal. Begitu pun anggaran pabrik es sekira 4 miliar, hingga saat ini tidak difungsikan. Bahkan beberapa alatnya sudah karatan. Bukan hanya itu, PPI ini tidak berfungsi dengan baik.
3. Pabrik pupuk yang juga sebagian anggarannya menggunakan dana APBD dan APBN disebut dialokasikan sekira 9 miliar. Sayang sampai sekarang tak ada produksi, dan “mangkrak”.
4. Lahan persiapan pasar ternak yang lagi-lagi menggunakan dana negara yang mencapai miliaran. Tapi sampai sekarang justru tidak terealisasi. Malah sebagian warga yang lahannya ingin dibebaskan, hanya menerima panjar.
5. Rumah Susun Sewa (Rusunawa) yang peruntukkan awalnya akan dibangun di sekitar wilayah pemukiman, justru ditempatkan di kawasan industri. Anehnya, Rusunawa ini banyak digunakan oleh karyawan perusahaan.
6. Pabrik Smelter yang dijanjikan akan terealisasi, sampai sekarang tak ada bukti. Malah warga yang bersedia menalangi pembebasan lahan, tak kunjung dibayarkan. Jumlahnya mencapai miliaran.
7. PT Global Seafood International yang sering dibangga banggakan NA, kini mulai macet dan tak ada produksi. Malah beberapa pekerjanya sempat tertunda pembayaran gajinya hingga lebih satu tahun. Genset sudah rusak dan berkarat.
8. Pembangunan PLTU yang digembar-gemborkan akan dianggarkan ratusan miliar, tak jelas kelanjutannya. Sampai sekarang hanya gardu yang terbangun.
9. Gedung pengelolaan yang dibangun pemerintah, tidak jelas dari instansi apa. Selain tak ada di papan nama, juga ada indikasi ini dijadikan hotel atau wisma.
10. Strawberry yang dibangga-banggakan NA, justru tidak seberapa di Bantaeng. Malah warga jarang menikmati hasil panennya. Jauh lebih banyak dari daerah lain.
11. Pabrik Talas Safira dan pabrik pengelolaan coklat dan kopi tak jalan alias gagal.Rumah sakit terindikasi sebagian kamarnya diduga dijadikan kamar kost-kost.
12. Lahan rumput laut terancam rusak akibat rencana pembangunan pelabuhan.Banyak jalanan di Bantaeng justru belum diselesaikan.
Diantara dugaan tersebut, yang paling mencolok adanya dugaan korupsi pada pembangunan RS DR Anwar Makkatutu.
Bahkan Kejaksaan Tinggi Sulselbar pernah langsung mengusut adanya dugaan korupsi ini. Walau hingga saat ini kasus tersebut terkesan mengendap.
Menanggapi semua itu, Mulawarman mengatakan di Bantaeng, dia bisa lolos dari pantaukan warga karena skala daerahnya kecil, namun di Sulsel jangan coba-coba berbuat seenaknya.
“Di Sulsel, khususnya Makassar, warganya sudah sangat cerdas dan kalau pun dia mampu mengontrol media massa, media sosial akan ‘mengadilinya,” ujar Mulawarman, Rabu (15/5/2019)
Lagian, menurut Mulawarman, kasus-kasus yang mengendap di Bantaeng, suatu saat bakal bisa dibuka kembali. Hanya menunggu waktu.
Mulawarman juga mengibaratkan Nurdin Abdullah ini seperti ‘preman kampung yang masuk kota’. Sifatnya yang tidak mengayomi malah terlihat sangat jumawa ke bawahannya menjadikan dia memang tidak layak memimpin Sulsel. (Rakyat Sulsel)