iklan Promo
News, Opini  

Dirgahayu ke-771 Bantaeng: Butta Toa yang Tak Pernah Padam Cahaya Peradabannya

Opini — Wawancara Via WhatsApp Bersama Wahid Hidayat

Mahasiswa S-3 Ilmu Komunikasi Unhas & Kepala UPT SMAN 1 Bantaeng

BANTAENG, PO — Menyambut perayaan Hari Jadi Kabupaten Bantaeng ke-771, berbagai refleksi dan harapan mengalir dari warga yang mencintai daerah ini. Dalam percakapan melalui WhatsApp, Wahid Hidayat, Mahasiswa S-3 Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin sekaligus Kepala UPT SMAN 1 Bantaeng, menyampaikan pandangannya tentang identitas, perjalanan sejarah, dan harapan bagi masa depan Butta Toa.

Menurut Wahid, Bantaeng memiliki kekuatan sejarah dan peradaban yang tidak pernah padam, meski zaman terus berubah.

> “Bantaeng selalu punya cara untuk meninggalkan jejak di hati warganya. Usia ke-771 tahun bukan hanya hitung-hitungan masa, tetapi bukti panjangnya perjalanan budaya, karya, dan kecintaan masyarakat dalam menjaga tanah kelahiran,” ujarnya.

 

Wahid juga mengingatkan kembali tagline kebanggaan Bantaeng beberapa tahun silam, BERKARYA akronim dari Bersih, Kreatif, Aman, Rapi, Yakin, dan Asri. Menurutnya, nilai-nilai tersebut tetap relevan sebagai karakter dasar orang Bantaeng.

> “Akronim BERKARYA bukan sekadar kata. Ia simbol identitas luhur yang tidak lekang waktu. Bantaeng bukan hanya tanah adat tertua, tetapi tanah peradaban,” tegasnya.

 

Sejumlah sumber sejarah menyebut Bantaeng sebagai salah satu daerah tertua di Sulawesi Selatan. Dalam kitab Negarakertagama, telah tercatat keberadaan sebuah kota teratur bernama Bantayan, yang oleh banyak ahli dihubungkan dengan Bantaeng hari ini. Menurut Wahid, hal itu menjadi bukti kuat bahwa sejak ratusan tahun lalu wilayah ini menjadi ruang perjumpaan dan pusat aktivitas masyarakat.

Siri’ na Pacce, Nafas Peradaban Bantaeng

Wahid menekankan bahwa budaya Siri’ na Pacce adalah inti moral masyarakat Butta Toa.

> “Siri’ membuat kita malu jika daerah yang dihormati sejarah tidak menunjukkan perkembangan. Siri’ adalah teguran halus: malu kalau kita berhenti berkarya. Di tanah peradaban, tidak berkarya berarti kehilangan harga diri,” jelasnya.

 

Sementara Pacce’, lanjutnya, menjadi jiwa kemanusiaan yang mempersatukan.

> “Pacce’ mengajarkan empati dan solidaritas. Tanpa pacce’, manusia hanya hidup berdampingan tanpa benar-benar terhubung,” katanya.

 

Karena itu, ia berharap masyarakat Bantaeng mampu terus dewasa dalam berpikir dan bertindak, menata masa depan tanpa meninggalkan akar tradisinya.

Bagi Wahid pribadi, Bantaeng adalah ruang sentimental yang tak tergantikan.

> “Bantaeng bukan sekadar nama kabupaten di peta. Ini tanah kelahiran, tempat kita tumbuh dan belajar makna pulang. Mariki’ hadirkan kisah-kisah bermakna untuk generasi kelak, supaya mereka bangga atas apa yang kita lakukan hari ini,” pungkasnya.