BANTAENG – Siri’ na Pacce merupakan slogan budaya yang dikenal kalangan masyarakat suku Bugis-Makassar.
Seorang berdarah Bugis-Makassar berani mempertahankan hidup di ujung sebilah Badik, senjata tajam khas etnis Bugis-Makassar.
“Jika badik telah keluar dari sarungnya, maka pantang masuk jika belum menyentuh darah”. Memang terdengar cukup garang, tapi seperti itulah esensi badik pada masanya.
Adat-istiadat di Sulawesi Selatan, khususnya, memang masih kental dan kuat. Meskipun telah berkali-kali menemui tantangan berat yang ada kalanya hampir menggoyahkan kedudukannya dalam kehidupan dan pikiran mereka, namun pada akhirnya adat-istiadat tersebut tetap hidup dan bahkan kedudukannya makin kukuh dalam masyarakat hingga kini.
Konsepsi Siri’ pada dasarnya mengarah kepada harga diri. Hal ini tercakup dalam sebuah ungkapan di kalangan Bugis yang mengatakan “utettong ri ade’é najagainnami siri’-ku”. Artinya, saya taat kepada adat demi terpeliharanya harga diri saya.
Menurut Mattulada (1985:108), siri’ inilah yang mendorong orang Bugis sangat patuh terhadap pangngadereng (pangadakkang dalam bahasa Makassar, atau Adat-istiadat) karena siri pada sebagian besar unsurnya dibangun oleh perasaan halus, emosi, dan sebagainya. Dari sinilah timbul berbagai penafsiran atas makna siri’ seperti malu-malu, malu, hina atau aib, iri hati, dan harga diri atau kehormatan.
Siri’ dalam pengertian orang Bugis adalah menyangkut segala sesuatu yang paling peka dalam diri mereka, seperti martabat atau harga diri, reputasi, dan kehormatan, yang semuanya harus dipelihara dan ditegakkan dalam kehidupan nyata.
Siri’ bukan hanya berarti rasa malu seperti yang umumnya terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat suku lain. Istilah malu di sini menyangkut unsur yang hakiki dalam diri manusia Bugis yang telah dipelihara sejak mereka mengenal apa sesungguhnya arti hidup ini dan apa arti harga diri bagi seorang manusia (Abdullah, 1985:40-41).
Begitu pentingnya siri’ dalam kehidupan orang Bugis sehingga mereka beranggapan bahwa tujuan manusia hidup di dunia ini adalah hanya untuk menegakkan dan menjaga siri’.
Pada hakikatnya budaya siri adalah produk kecerdasan lokal untuk membangun kembali tatanan sosial orang Bugis di masa lalu yang kacau balau.
Secara historis, kondisi tersebut digambarkan dalam kronik-kronik Bugis dengan pernyataan bahwa kehidupan manusia pada masa itu bagaikan kehidupan ikan di laut, yang besar memangsa yang kecil atau disebut dengan sianrè balè tauwè.
Bangsa Bugis juga mempunyai sebuah konsep lain yang disebut Pessé (pacce dalam bahasa Makassar), yaitu semacam perangsang untuk meningkatkan perasaan setia kawan yang di kalangan mereka. Pessé adalah suatu perasaan ikut menanggung dan berbelas kasihan terhadap penderitaan setiap anggota kelompoknya, termasuk orang yang telah dibuat malu. Oleh karena itu, konsep pessé ini akan menjadi suatu sarana untuk memulihkan harga diri orang yang telah dibuat malu.
Konsep siri’ dan pessé hingga kini terus memberi pengaruh terhadap seluruh sendi-sendi kehidupan sosial Bugis-Makassar.
Situasi siri’ akan muncul ketika seseorang ri pakasiri’ atau dibuat malu karena kedudukan sosialnya dalam masyarakat atau rasa harga diri dan kehormatannya dicemarkan oleh pihak lain secara terbuka.
Jika hal ini terjadi, maka orang yang ri pakasiri’ dituntut oleh adat untuk mengambil tindakan untuk menebus atau memulihkan harga dirinya di matanya sendiri maupun di mata masyarakat, yaitu dengan cara menyingkirkan penyebab malu tersebut.
Orang yang ri pakasiri (dibuat malu) tetapi tidak mampu melakukan pemulihan terhadap harga dirinya yang tercemar akan dipandang hina dan dikucilkan oleh masyarakat.
Jika hal ini terjadi, maka bagi orang itu, pembuangan dianggap lebih baik daripada dikucilkan di tengah-tengah masyarakat.
Faktor inilah yang menjadi salah satu penyebab banyaknya orang Bugis pergi merantau atau meninggalkan kampung halamannya karena tidak sanggup menanggung rasa malu di mata masyarakatnya.
Orang yang ri pikasiri’ dapat melakukan jallo (amuk), yaitu membunuh siapa saja, bahkan orang yang tidak terlibat dalam masalah itu pun dapat menjadi sasaran amukannya. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa hal yang cukup ekstrem.
Namun, sejak terintegrasikannya agama Islam ke dalam sistem pangngadereng bangsa Bugis, penebusan-penebusan siri berupa pembalasan dan penganiayaan tanpa pertimbangan kemanusiaan mulai berubah.
Dengan kata lain, penebusan siri yang sering dianggap orang melampui batas tersebut menjadi lebih terarah penerapannya sejak kedatangan agama Islam.
Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar menjauhkan diri dari kejahatan dan perbuatan maksiat seperti membunuh. Namun, jika terjadi kasus yang menyebabkan harga diri seseorang diinjak-injak, maka kasus tersebut diserahkan kepada pihak yang berwewenang, seperti lembaga adat atau pihak Kepolisian.
Konsep Siri’
Siri adalah suatu hal yang abstrak dan berada di alam pikiran manusia Bugis.
Pengertiannya hanya dapat diketahui melalui pengamatan dan observasi dengan melihat akibat konkret yang ditimbulkannya, yaitu berupa tindakan-tindakan.
Oleh sebab itu terkandung pengertian-pengertian tertentu yang meliputi berbagai aspek kehidupan dan kebudayaan masyarakat dalam kata siri’ ini.
Para peneliti terdahulu telah mengkaji mengenai pengertian siri secara leksikal maupun pengertiannya secara luas menurut sudut pandang mereka masing-masing.
Batasan pengertian kata siri’ sebagai berikut:
1. Siri’ berarti malu, isin (Jawa), atau shame (Inggris).
2. Siri’ merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh), mengasingkan, mengusir dan sebagainya terhadap apa atau siapa saja yang dapat menyinggung perasaan atau harga diri seseorang.
3. Siri’ juga merupakan daya pendorong yang dapat ditujukan ke arah pembangkitan tenaga untuk membanting tulang dan bekerja mati-matian demi suatu pekerjaan atau usaha.
4. siri merupakan pembalasan yang berupa kewajiban moril untuk membunuh pihak yang melanggar adat.
5. siri’ sebagai perasaan malu yang dapat menimbulkan sanksi dari keluarga yang dilanggar norma adatnya
Melihat kasus pembunuhan terhadap remaja putri inisial R (16) yang terjadi di Kampung Katabung, Desa Pattaneteang, Kecamatan Tompobulu, Bantaeng, Sulawesi Selatan Sabtu, 9 Mei 2020 lalu. Maka lebih tepat bisa dilambangkan sebagai Mate Siri’
Mate siri, artinya orang yang sudah hilang harga dirinya tak lebih dari bangkai hidup.
Agar tidak dianggap sebagai bangkai hidup, maka orang Bugis merasa dituntut untuk melakukan penegakan siri walaupun nyawanya sendiri terancam.
Menurut mereka, lebih baik mati ri risi-na daripada mate siri, artinya lebih baik mati karena mempertahankan harga diri daripada hidup tanpa harga diri.
Sehingga pada rentetan kasus tersebut disandera seorang pemuda berinisial IR (18) dengan harapan untuk dinikahkan agar aib itu bisa tertutupi atau pemulihan Siri’. Hanya saja IR enggan untuk menikahi R (16) dengan alasan yang tepat, yakni masih terlalu dini.
Namun pembunuhan itu tetap tak dibenarkan di mata hukum. Apapun alasannya, termasuk menegakkan adat-istiadat. Biarkanlah Polisi bertindak sebagaiamana seharusnya. Menjerat sesuai hukum yang setimpal bagi oara pelaku kejahatan. [Sc]