Mengenal Penggunaan Fakta Opini Dalam Berita

  • Bagikan

Penulis: Zulkarnain Hamson
zulkarnain.hamson@uit.ac.id
Dosen Ilmu Komunikasi Fisip
Universitas Indonesia Timur

Di awal tahun 1989 penulis menjalani proses menuju pekerja media, belum bisa disebut wartawan karena dimulai dari suratkabar komunitas kampus bernama Identitas, milik Universitas Hasanuddin, sebagai kartunis. Selanjutnya pada 1990 memulai menulis pada Koran kampus Pulitzer, yang diterbitkan Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Kosmik), Fisip Unhas.

Tahun 1991, bersama sejumlah mahasiswa komunikasi Unhas, penulis memilih magang praktik di Koran Harian FAJAR, ketika itu berkantor di jalan Ahmad Yani, samping Kimia Farma, Makassar. Semua itu atas gagasan Prof. Dr. Anwar Arifin, yang mewajibkan semua mahasiswa program Jurnalistik, harus bisa menulis di media massa.

Dalam ruangannya yang sederhana, bermeja kayu dan berkipas angin tua, Alwi Hamu, pemilik FAJAR, menerima penulis dan dua orang mahasiswa lainnya, untuk wawancara sebagai tugas awal menjadi reporter. Wawancara berjalan lancar, saat itu Alwi Hamu, didampingi wartawan senior FAJAR, Usamah Kadir.

Wawancara tokoh pers Indonesia itu termuat pada halaman Pulitzer, dan saya merasa menemukan guru baru jurnalistik, yang bisa dengan apik menjelaskan tentang fakta berita. Ruang kelas di Komunikasi Fisip Unhas, telah memberikan kami penuntun tentang memahami filosofi berita, kami hanya ‘buta’ akan praktik dalam penulisannya.

Tahun 2003, saya akhirnya berlabuh kembali di FAJAR melalui anak medianya berlabel Harian Ujungpandang Ekspres, perjalanan dari 1989 hingga kembali ke ruang redaksi cukup jauh, ibarat menelusuri relung fakta di belantara kota, dari Makassar, Jakarta, Bogor, Bandung, Lampung, Pontianak, Samarinda, Sarawak, Brunei Darussalam, kemudian kembali ke Makassar.

BACA JUGA  Kenakan Seragam Satpol PP, Wagub Sulsel Edukasi dan Bagi Masker di Pasar Terong

Pelajaran tak akan pernah berhenti, karena setiap tempat persinggahan adalah sekolah, dan setiap orang yang ditemui sejatinya adalah guru. Demikian prinsip yang penulis pegang, dalam membaca setiap pertemuan dan perpindahan tempat.

Kita kembali ke bahasan tentang fakta. Alwi Hamu, mungkin lupa, bahwa ajarannya tentang fakta, telah membawa saya ke perjalanan yang demikian jauh. Akhirnya bertemu kembali dengan Prof. Hafied Cangara, Prof. Andi Alimuddin Unde, mahaguru yang tak pernah kering dari semangat membangun peradaban menuju masa depan di bidang keilmuan komunikasi.

Perdebatan dalam rapat redaksi, saat penulis menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Harian Ujungpandang Ekspres, menjadi sarapan di rapat redaksi jam 8 pagi. Sore menjelang batas akhir penyetoran berita, fakta akan kembali ditelisik dengan cermat, saat wartawan atau reporter lalai membenahi kekuatan fakta dalam bangun beritanya. Tugas di ujung gawang, menjaga agar berita layak naik cetak sebelum jam 12 malam.

Mari kita memahami fakta dengan benar, jika bertekad menjadi wartawan profesional. Kesalahan memilih dan memilah fakta, akan menjadi petaka bagi masyarakat, media dan wartawannya. Kekurangan fakta bukan bisa berkelit dengan alasan, deadline sudah dekat. Redaktur akan terus bekerja keras di ruang redaksi melengkapi berita prematur menjadi hebat.

Fakta (Latin: factus) ialah segala sesuatu yang tertangkap oleh indra manusia atau data keadaan nyata yang terbukti dan telah menjadi suatu kenyataan. Catatan atas pengumpulan fakta disebut data. Demikian tulis Vardiansyah, Dani, dalam bukunya Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, 2008.

Fakta sering kali diyakini oleh orang banyak (umum) sebagai hal yang sebenarnya, baik karena mereka telah mengalami kenyataan-kenyataan dari dekat maupun karena mereka dianggap telah melaporkan pengalaman orang lain yang sesungguhnya. Pendapat ini dikemukakan, Ehniger, D. Dalam Influence, belief, and argument: An Introduction to responsible persuasion.

Dalam istilah keilmuan, komunikasi, fakta adalah suatu hasil pengamatan yang objektif dan dapat dilakukan verifikasi oleh siapapun. Fakta yang tak bisa diferivikasi hanya akan menjadi opini tak berdasar.

BACA JUGA  Isu COVID-19 dan Human Security Policy

Di luar lingkup keilmuan fakta sering pula dihubungkan dengan:

  1. Suatu hasil pengamatan jujur yang diakui oleh pengamat yang diakui secara luas, biasa terjadi pada proses interpretasi makna dari suatu pengamatan.
  2. Kekuasaan kadang digunakan untuk memaksakan interpretasi politis yang benar dari suatu pengamatan.
  3. Suatu kebiasaan yang diamati secara berulang; satu pengamatan terhadap fenomena apapun tidak menjadikan itu sebagai suatu fakta. Hasil pengamatan yang berulang biasanya dibutuhkan dengan menggunakan prosedur atau definisi cara kerja suatu fenomena.

Penjelasan lain menambahkan, bahwa fakta adalah;

  1. Sesuatu yang dianggap aktual sebagai lawan dari dibuat.
  2. Sesuatu yang nyata, yang digunakan sebagai bahan interpretasi lanjutan.
  3. Informasi mengenai subjek tertentu.
  4. Sesuatu yang dipercaya sebagai penyebab atau makna.

Berangkat dari landasan di atas, wartawan atau reporter juga redaktur yang bertindak sebagai penjaga akhir berita sebelum diterbitkan, harus betul-betul serius dalam memilah bahan dasar berita yang disebut fakta. Kesalahan pertama akan diikuti oleh kesalahan berikutnya, dan umumnya akan lebih fatal.

BACA JUGA  Polda Sulsel Gelar Lomba Lagu Daerah, ini Hadiahnya dan Judul Lagu

Sebagai misal, penggunaan fakta opini. Reporter atau wartawan yang malas melakukan pendalaman dan pengamatan pada fenomena akan cenderung asal memilih fakta opini. Seseorang yang tak memiliki kompetensi sekalipun akan menjadi sasaran wawancara. Sebaliknya reporter dan wartawan yang cerdas, akan memakai semua pikiran terbaik yang dimilikinya untuk menelusuri fakta opini secara bertanggung jawab.

Fakta opini yang tepat akan menguatkan kepercayaan pembaca, akan tetapi lebih penting dari itu adalah mencerdaskan pembaca. Komentar fakta opini, yang dipilih wartawan haruslah memiliki kapasitas, kemampuan, kredibilitas dan tentu juga otoritas. Fakta opini yang salah akan meragukan pembaca yang cerdas akan kualitas wartawan juga medianya. Penting untuk diperhatikan oleh pemimpin media, jika ingin tetap menjaga kepercayaan pembaca akan medianya.

Sebagai contoh, mewawancarai sembarang polisi atas sebuah peristiwa akan membuat kualitas berita menjadi rendah. Jika kasusnya berkaitan dengan pelanggaran lalulintas, maka polisi yang bertugas di bagian cybercrime, tak cocok menjadi nara sumber fakta opini. Adalah aparat kepolisian di bagian lalulintas yang paling tepat.

Catatan penting untuk memahami fakta opini adalah nara sumber, haruslah mereka yang betul-betul memiliki pengetahuan, keahlian, kewenangan, otoritas dalam bidangnya. Jika diyakini sulit menemukan fakta opini yang tepat, maka wartawan harus memberi penguatan berita pada fakta empirik, fakta psikologis juga fakta publik.

  • Bagikan