Penjahat, Alam, dan Negara yang Dikeruk dari Dalam
Opini Publik
Oleh : Mashud Azikin
MAKASSAR,PO – Nelson Mandela pernah berkata, “Penjahat itu tidak pernah membangun negara. Ia memperkaya diri sambil merusak negara.” Dalam konteks Indonesia hari ini, kalimat itu menemukan relevansinya yang paling telanjang pada wajah eksploitasi sumber daya alam dan praktik-praktik ekstraktif yang menggerus lingkungan hidup sekaligus sendi keadilan sosial.
Penjahat yang dimaksud Mandela tidak selalu datang dengan alat berat dan seragam tambang. Ia sering hadir sebagai pemegang konsesi, pengambil kebijakan, atau perantara kepentingan yang menjadikan hutan, laut, dan tanah sebagai komoditas semata. Atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, alam dikonversi menjadi angka-angka laba, sementara kerusakan ekologis dan penderitaan masyarakat lokal diperlakukan sebagai biaya yang bisa dinegosiasikan.
Indonesia adalah negeri yang dianugerahi kekayaan alam luar biasa. Namun justru di sanalah paradoksnya: wilayah yang paling kaya sumber daya sering kali menjadi wilayah yang paling miskin secara sosial dan paling rusak secara ekologis. Tambang nikel, batu bara, emas, hingga ekspansi sawit dan proyek-proyek ekstraktif lainnya kerap meninggalkan lubang raksasa, air tercemar, konflik agraria, serta hilangnya ruang hidup masyarakat adat dan pesisir. Negara hadir, tetapi sering kali bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai pemberi izin.
Dalam situasi ini, kejahatan tidak berdiri di luar sistem. Ia dilembagakan melalui regulasi yang longgar, pengawasan yang lemah, dan penegakan hukum yang tumpul ke atas. Ketika izin eksploitasi diterbitkan tanpa kajian lingkungan yang jujur, atau ketika pelanggaran dimaafkan demi “iklim investasi”, negara sedang mempraktikkan apa yang diperingatkan Mandela: memperkaya segelintir orang sambil merusak fondasi bersama.
Kerusakan lingkungan bukan sekadar persoalan ekologis. Ia adalah krisis kemanusiaan. Banjir, longsor, kekeringan, dan pencemaran bukan bencana alam murni, melainkan konsekuensi dari keputusan politik dan ekonomi. Ketika hutan ditebang tanpa kendali dan pesisir direklamasi tanpa empati, yang pertama kali terdampak adalah mereka yang hidup paling dekat dengan alam: petani, nelayan, dan masyarakat adat. Pembangunan pun menjelma menjadi ironi—maju bagi statistik, mundur bagi kehidupan.
Mandela memahami bahwa negara sejati dibangun di atas keadilan, bukan eksploitasi. Negara yang membiarkan alamnya dirusak demi keuntungan jangka pendek sesungguhnya sedang menggali lubang bagi masa depannya sendiri. Sumber daya alam yang habis tidak bisa diwariskan, sementara kerusakan ekologis membutuhkan waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk dipulihkan.
Bahaya terbesar dari kejahatan ekstraktif adalah normalisasi. Ketika perusakan lingkungan dianggap konsekuensi tak terhindarkan dari pembangunan, dan kritik dilabeli sebagai penghambat kemajuan, maka publik sedang diajak berdamai dengan ketidakadilan. Di titik ini, kejahatan menjadi banal—ia berlangsung terang-terangan, tetapi jarang dipertanyakan.
Negara tidak akan berubah jika warganya menyerahkan sepenuhnya urusan alam dan masa depan kepada elite politik dan korporasi. Demokrasi kehilangan makna ketika suara masyarakat terdampak tidak pernah masuk dalam pengambilan keputusan. Tanpa partisipasi dan kontrol publik, kekuasaan atas sumber daya alam akan selalu condong kepada mereka yang paling kuat modalnya.
Indonesia membutuhkan keberanian untuk mendefinisikan ulang pembangunan. Bukan sebagai percepatan ekstraksi, melainkan sebagai upaya merawat keberlanjutan. Negara harus berpihak pada kelestarian, keadilan ekologis, dan hak generasi mendatang. Tanpa itu, pertumbuhan ekonomi hanyalah cerita pendek dengan akhir yang mahal.
Mandela mengingatkan kita bahwa penjahat tidak pernah membangun negara. Dalam konteks lingkungan hidup, penjahat adalah mereka yang menjadikan alam sebagai korban demi akumulasi kekayaan. Negara yang membiarkan itu terjadi sedang menukar masa depan dengan keuntungan sesaat. Dan sejarah selalu mencatat, harga yang harus dibayar oleh generasi berikutnya jauh lebih mahal daripada keuntungan yang dirayakan hari ini.
Penulis adalah pegiat sosial dan pemerhati isu ekologi serta kewargaan.








