Covid-19 dan Fenomena Informasi yang tidak Terukur

  • Bagikan

Oleh: Zulkarnain Hamson
Dosen Ilmu Komunikasi Fisip
Universitas Indonesia Timur

Mengutip situs kesehatan nasional alodokter.com, Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang lebih dikenal dengan nama virus Corona adalah jenis baru dari coronavirus yang menular ke manusia. Virus ini bisa menyerang siapa saja, baik bayi, anak-anak, orang dewasa, lansia, ibu hamil, maupun ibu menyusui. Covid-19 telah menjangkiti warga di banyak negara, saat ini Indonesia sedang menghadapinya.

Fenomena Covis-19 bisa ditelisik dari sudut pandang komunikasi. Studi yang salah satunya mengamati proses penyebaran informasi kepada publik, dimulai dari siapa pembagi pesan, isi pesan, saluran yang digunakan, waktu, periode penyampaian, penerima pesan hingga respon yang ditimbulkannya.

Teori Dependensi Efek Komunikasi Massa Teori yang dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin L. DeFleur, memfokuskan perhatiannya pada kondisi struktural suatu masyarakat yang mengatur kecendrungan terjadinya efek media massa.

Pemikiran terpenting dari teori ini adalah bahwa dalam masyarakat modern, audience menjadi tergantung pada media massa sebagai sumber informasi bagi pengetahuan tentang, dan orientasi kepada, apa yang terjadi dalam masyarakat.

Jenis dan tingkat ketergantungan akan dipengaruhi oleh jumlah kondisi struktural, meskipun kondisi terpenting terutama berkaitan dengan tingkat perubahan, konfliknya atau tidak stabilnya masyarakat tersebut, dan kedua, berkaitan dengan apa yang dilakukan media yang pada dasarnya melayani berbagai fungsi informasi. Jenis-jenis efek yang dapat dipelajari melalui teori ini meliputi efek kognitif, Afektif, Behavioral.

BACA JUGA  Pemerintah Desa Bonto Jai, Bahas Calon Penerima BLT

Mengutip naskah Wikipedia, Coronavirus 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh sindrom pernapasan akut Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Penyakit ini pertama kali diidentifikasi pada 2019 di Wuhan, Cina, dan sejak itu menyebar secara global, mengakibatkan pandemi virus Coronavirus 2019-2020.

Gejala umum termasuk demam, batuk, dan sesak napas. Nyeri otot, produksi dahak, dan sakit tenggorokan jarang terjadi. Sementara sebagian besar kasus menghasilkan gejala ringan, beberapa berkembang menjadi pneumonia berat dan kegagalan multi-organ. Pada tanggal 20 Maret 2020, tingkat kematian per jumlah kasus yang didiagnosis adalah 4,1%; Namun, itu berkisar dari 0,2% hingga 15% tergantung pada usia dan masalah kesehatan lainnya.

Semua pesan itu telah sampai ke masyarakat Indonesia, sejak awal masyarakat Wuhan, di China dikabarkan telah mengalami serangan mematikan sejak beberapa bulan lalu. Pertanyaan yang muncul, bagaimana pemerintah Indonesia mengantisipasi efek berantai dari serangan Covid-19.

BACA JUGA  Dinsos Bantaeng Sempat Menolak data Penerima Bansos versi Lurah

Peringatan yang dikeluarkan pemerintah, telah dilakukan, sekalipun menimbulkan pertanyaan, apakah efektif, benarkan pesan yang dikirim sudah tepat waktu, dan apakah masyarakat memahami pesan yang dikirim. Kita bisa melihatnya pada intensitas dikeluarkannya informasi itu, substansi dan konsistensinya.

Efek yang dapat diperoleh masyarakat melalui informasi yang dikeluarkan pemerintah. Teori di atas mempertanyakan efek mempengaruhi pengetahuan masyarakat (Kognitif), apakah mengubah pemikiran masyarakat (Afektif), dan yang terakhir apakah perilaku manusia dari hasil belajar, pada terpaan informasi pemerintah, dapat mengubah tngkah laku manusia yang diperoleh dari belajar, dan proses terbentuknya kepribadian melalui proses kematangan dari belajar pada informasi yang dikeluarkan (Behavioral).

Presiden RI, Joko Widodo, Senin 16 Maret 2020, Indonesia hingga saat ini tidak merasa perlu menerapkan lockdown. Pernyataan presiden memiliki dampak pada jajaran pemerintahan di bawahnya. Gubernur, bupati dan walikota dengan berbagai pertimbangan terutama merujuk pada institusi di atasnya, akhirnya mengeluarkan kebijakan yang tidak seragam.

Perlu tidaknya lockdown (menutup pintu masuk), kota dari perlintasan orang-orang dari berbagai wilayah baik nasional maupun internasional dianggap solusi terbaik, itu terus mengundang pro dan kontra. Bagi yang mendukung, lockdown ini perlu untuk menghambat penularan virus corona dan ini sudah diterapkan beberapa negara.

BACA JUGA  Tanpa Protokol Kesehatan, New Normal Hanyalah Mimpi

Namun, bagi yang menentang, mewanti-wanti bahwa lockdown menyebabkan biaya ekonomi yang besar dan mendatangkan gejolak sosial-ekonomi yang serius bila pemerintah dan masyarakat tidak siap menerapkannya. Kebijakan itu hanya satu dari langkah yang lain dan juga tidak kalah penting, semisal antisipasi pemerintah lokal pada kesiapan jajarannya dalam melindungi masyarakatnya.

Jika hari ini, pekan depan, bulan depan Covid-19 membuat kerusakan besar, maka kita tentu bisa menerimanya secara logika, dikarenakan ketidaksiapan kita pada membangun sistem informasi kebencanaan yang tertata rapih. Pro kontra kebijakan sudah memberikan peringatan awal bahwa harapan kita untuk membangun sebuah sistem pertahanan masyarakat melalui informasi yang terarah dan terkendali serta terukur memang tidak berjalan.

Kita tentu berharap pada berbagai informasi yang tersedia saat ini, melalui saluran resmi maupun media sosial, masyarakat mampu menemukan ketiga harapan berdasarkan teori komunikasi di atas, yakni tercerdaskan, mampu mengubah prilaku, dan terakhir mampu membantu bukan hanya diri dan keluarga, tetapi masyarakat di sekelilingnya untuk terhindar dari wabah Covid-19.

***

  • Bagikan